Pada kesempatan yang berbahagia ini, di hari
yang sangat cerah dan damai ini, marilah kita ucapka puja-puji dan syukur kita
kehadirat Allah SWT yang mana hingga detik ini masih memberikan kita nikmat
iman, kesehatan dan nikmat-nikmat lainnya yang tiada tandingannya diatas muka
bumi ini. Sehingga kita masih dapat berkumpul didalam ruangan ini tanpa kurang
suatu apapun.
Sesungguhnya perlu kita ketahui bahwa segala yang ada
didunia ini dari kuman yang sekecil apapun sampai kepada benda yang besar
seperti bulan, bintang, bumi maupun matahari sesungguhnya semua itu kecil bila
dibandingkan dengan kebesaran allah SWT yang tiada duanya didunia ini. Oleh
sebab itu, saya mengajak saudara sekalian untuk bersatu padu duduk sama rendah,
berdiri sama tinggi dibawah naungan kalimat tauhid.
Dan tak lupa
pula shalawat beserta salam kita hadiahkan kepeda rasul junjungan alam dengan
mengucapakan Allahummashalli ‘alasyaidina Muhammad, wa’ala ‘alisyaidina
Muhammad yang mana beliau telah berhasil membawa ummatnya dari zaman jahiliah,
dari alam kebodohan ke alam yang bersinar bak mutiara dilautan seperti yang
kita rasakan pada saat sekarang ini
Hadirin
sekalian yang dirahmati Allah SWT…
Dalam khutbah yang singkat ini, khatib ingin menyampaikan sebuah materi yang berkaitan dengan “Toleransi antar Umat Beragama”. Materi ini khatib rasa masih sangat signifikan dan urgen, bersamaan dengan gejala masih mengentalnya sentimen-sentimen keagamaan di berbagai kawasan di negeri kita. Sesungguhnya tidak ada paksaan dalam agama. Islam mengajarkan pemeluknya untuk membiarkan orang untuk menganut kepercayaan masing-masing. Artinya, Islam sekedar menganjurkan pemeluknya untuk mengajak orang lain, bukan memaksanya untuk memeluk agama Islam. Bahkan, dalam sebuah ayat disebutkan, “Jangan memaki sembahan orang. Karena, kalau kamu memaki sembahan mereka, maka mereka juga akan memaki sembahanmu.” Fenomena ini tentunya, merupakan tantangan bagi para cendekia kita untuk segera merumuskan cetak biru toleransi beragama di Indonesia, sekaligus tanggungjawab para ulama untuk memahamkan umatnya akan hakikat toleransi sesuai ajaran agama Islam. Sehingga, hubungan intern dan ekstern antarumat beragama yang lebih baik dapat segera wujud, bukan lagi hanya dalam awang-awang, keinginan dan teori semata, melainkan dalam kehidupan nyata sehari-hari.
Konsep Toleransi dalam Islam Semua orang tahu bahwa agama Islam adalah agama yang paling toleran terhadap pemeluk agama dan kepercayaan lain. Seseorang tidak pernah dipaksa masuk kedalam agama Islam, bila dia tidak mau. Dalam sejarah belum pernah terjadi, ada seseorang masuk Islam karena dipaksa, diancam atau diintimidasi. Sebab dalam pandangan Islam, setiap orang wajib dihormati kebebasanya dalam menentukan jalan hidupnya.Kebebasan dan toleransi merupakan dua hal yang seringkali dipertentangkan dalam kehidupan manusia. Secara khusus dalam komunitas yang beragam dan akan lebih rumit ketika dibicarakan dalam wilayah agama. Kebebasan beragama dianggap sebagai sesuatu yang menghambat kerukunan tidak adanya toleransi), karena dalam pelaksanaan kebebasan mustahil seseorang tidak menyentuh kenyamanan orang lain.
Akibatnya,
pelaksanaan kebebasan menghambat jalannya kerukunan antarumat
beragama.Kebebasan beragama pada hakikatnya adalah dasar bagi terciptanya
kerukunan antar umat beragama. Tanpa kebebasan beragama tidak mungkin ada
kerukunan antar umat beragama. Kebebasan beragama adalah hak setiap manusia.
Hak untuk menyembah Tuhan diberikan oleh Tuhan, dan tidak ada seorang pun yang
boleh mencabutnya.
Demikian juga sebaliknya, toleransi antarumat beragama adalah cara agar kebebasan beragama dapat terlindungi dengan baik. Kebebasan dan toleransi tidak dapat diabaikan. Namun yang sering kali terjadi adalah penekanan dari salah satunya, misalnya penekanan kebebasan yang mengabaikan toleransi dan usaha untuk merukunkan dengan memaksakan toleransi dengan membelenggu kebebasan. Untuk dapat mempersandingkan keduanya, pemahaman yang benar mengenai kebebasan beragama dan toleransi antar umat beragama merupakan sesuatu yang penting dalam kehidupan sehari-hari dalam bermasyarakat.
Sebagai
suatu ajaran fundamental atau asasi, konsep toleransi telah banyak ditegaskan
dalam Alquran. Di antaranya sebagaimana yang termaktub dalam surat (QS. Al
Baqarah:256), Allah Swt berfirman:
لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ
قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ
بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لَا انْفِصَامَ لَهَا
وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ.
“Tidak ada
paksaan dalam beragama Islam. Sungguh telah jelas jalan yang benar dari jalan
yang salah. Karena itu, barangsiapa yang ingkar kepada thagut (tuhan selain
Allah) dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya dia telah berpegang kepada
tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah maha mendengar, lagi maha
mengetahui.” (QS. Al Baqarah:256)
Kebebasan
untuk memilih agama dalam ayat ini mengandung maksud, bahwa memeluk agama Islam
tidak menghendaki adanya paksaan, melainkan melalui kesadaran dan keinginan
pribadi yang bersangkutan. Bagi mereka yang berkenan, dipersilahkan, bagi yang
tidak, adalah hak mereka sendiri untuk menolak dengan sepenuh hati. Bahkan
ketika ayat ini menggunakan kalimat negatif yang dalam tata bahasa Arab dikenal
dengan “lâ nâfiah”, maka ayat ini dapat diartikan sebagai larangan keras bagi
kaum muslimin untuk tidak memaksakan ajaran Islam kepada pemeluk agama lain.
Namun sebagai konsekuensinya, seseorang yang telah menjatuhkan pilihannya
kepada agama Islam, sudah seharunya konsisten di dalam menjalankan ajaran
agamanya secara baik dan benar. Inilah bentuk toleransi agama yang begitu nyata
yang ditegaskan oleh Islam.
Sama halnya
dengan Surat (QS. Al-Kafirun:1-6):
قُلْ يَا أَيُّهَا
الْكَافِرُونَ (1) لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ (2)
وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (3) وَلَا أَنَا
عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ (4) وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا
أَعْبُدُ (5) لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ (6)
“Katakanlah
(hai Muhammad): "Wahai orang-orang kafir, aku tidak menyembah apa yang
kamu sembah, dan kamu pun tidak menyembah Tuhan yang aku sembah. Aku tidak
pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu pun tidak pernah
menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Karena untukmulah agamu, dan
untukkulah agamaku”
Melalui ayat
ini dapat dipahami, bahwa Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad SAW dan kaum
muslimin untuk tidak ikut-ikutan dalam upacara peribadadatan agama lain, karena
ajaran Islam mempunyai batasan-batasan tertentu dalam beribadah dan
berkeyakinan. Namun tidak juga memaksakan ajaran Islam kepada mereka, karena
"bagi mereka (orang kafir) agama mereka, bagiku (orang Islam) agamaku".
Nampak di sini adanya keseimbangan, antara tidak turut campur dalam urusan
ibadah agama masing-masing dan tidak memaksakan agama kepada mereka.
Pada
prinsipnya toleransi beragama memang baik adanya. tapi keyakinan suatu hal iman
tidak bisa Islam untuk berkompromi.
Surat (Al-Mumtahanah:8)menjelaskan tentang tidak adanya larangan bagi orang Islam untuk berbuat baik, berlaku adil dan menolong orang-orang non-Islam. Allah Swt berfirman:
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ.
“Allah tidak
melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil kepada orang-orang yang tidak
memerangi kamu karena agama, dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”
Melalui ayat ini, Alquran berpandangan, bahwa perbedaan agama bukan penghalang untuk merajut tali persaudaraan antarsesama manusia yang berlainan agama. Jangan lupa, bahwa Tuhan menciptakan planet bumi ini tidak untuk satu golongan agama tertentu. Dengan adanya bermacam-macam agama, itu tidak berarti bahwa Tuhan membenarkan diskriminasi atas manusia, melainkan untuk saling mengakui eksistensi masing-masing (lita'ârafû).
Walhasil, sungguh tidak beralasan bagi seorang muslim untuk tidak menenggang dan bersikap toleran kepada orang lain hanya karena dia bukan penganut agama Islam. Pembiaran terhadap orang lain (al-âkhar) untuk tetap memeluk agama non-Islam adalah bagian dari perintah Islam sendiri. Dengan kata lain, pemaksaan dalam perkara agama di samping bertentangan secara diametral dengan harkat dan martabat manusia sebagai makhluk yang merdeka juga berlawanan dengan ajaran Islam itu sendiri. Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 256 tadi: "Tidak boleh ada paksaan dalam beragama. Sungguh telah nyata (berbeda) kebenaran dan kesesatan".
Bahkan, Nabi
Saw pernah mendapat teguran dari Allah Swt, yang termaktub dalam Surat (Yunus:99):
وَلَوْ شَاء رَبُّكَ لآمَنَ مَن فِي الأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا أَفَأَنتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّى يَكُونُواْ مُؤْمِنِينَ
"Kalau
Tuhanmu mau, tentulah semua orang yang ada di muka bumi ini telah beriman, maka
apakah kamu (wahai Muhammad) akan memaksa seluruh manusia hingga mereka menjadi
orang-orang yang beriman semuanya?"
Menjadi hak
setiap orang tentunya untuk mempercayai bahwa agamanyalah yang benar. Namun,
dalam waktu yang bersamaan, yang bersangkutan juga harus menghormati jika orang
lain berpikiran serupa. Karena hal itu merupakan masalah pribadi, tidak banyak
gunanya memaksa seseorang untuk memeluk suatu agama kalau tidak dibarengi
dengan kepercayaan dan keyakinan penuh dari orang tersebut. Memeluk agama
karena paksaan dan intimidasi merupakan kepemelukan agama yang pura-pura, tidak
serius, dan bohong.
Tidak adanya izin teologis dari sang
Maha Pencipta untuk melakukan pemaksaan dalam urusan agama ini menjadi
ditolerir, karena Tuhan telah memposisikan manusia sebagai makhluk berakal yang
mampu untuk membedakan dan memilih agama yang diyakini dapat mengantarkan
dirinya menuju gerbang kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat. Allah
sendiri telah berfirman dalam surah (alkahfi:30) :
إِنَّ الَّذِينَ آَمَنُوا
وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ إِنَّا لَا نُضِيعُ أَجْرَ مَنْ أَحْسَنَ عَمَلًا
“sungguh,
mereka yang beriman dan mengerjakan kebajikan, kami benar-benar tidak akan
menyia-nyiakan pahala orang yang berbuat kebajikan tersebut.”
Sementara itu, sejumlah hukum agama seperti riddah (keluar dari ajaran Islam), kufr (kafir) yang oleh sebagian oknum dikatakan sebagai argumentasi untuk menolak ajakan toleransi, jelas merupakan kesalahan fatal dalam meletakkan hukum agama. Artinya, hukum agama tidak diletakkan dalam proporsinya yang benar sebagai jalan (syir'ah, minhâj) untuk sampai kepada Tuhan. Syariat bukanlah ghâyah --meminjam bahasa ushul fikih-- melainkan washîlah. Dalam ushul fikih, cukup kesohor adanya sebuah kaidah: al-Islâm murûnatun fi l-wasâ`il wa tsabâtun fi l-ghâyât (Islam bersifat lentur-elastis ketika berbicara tentang sarana pencapaian sebuah tujuan, namun sangat tegas ketika sudah menyangkut tujuan itu sendiri).
Ma’âsyiral
muslimîn rahimakumullâh...
Bercermin dari konsep Islam dalam bertoleransi, hendaknya setiap dari kita harus menyadari, bahwa Islam memerintahkan kepada umatnya untuk saling tenggang rasa dan toleransi dalam menjalankan ajaran agamanya masing-masing. Allah Swt sengaja menciptakan manusia berbilang bangsa dan suku hanya untuk menguji, mampukah manusia untuk hidup rukun dan damai penuh kasih sayang di dalam mencari kebenaran di sisinya.
Akhir-akhir ini, kebanggaan toleransi yang kita miliki sebagai bangsa Indonesia telah luluh lantak oleh sederetan kekerasan, yang diakui atau tidak, sangat kental beraroma agama. Bagaimana tidak, pada tataran realitas, para pelaku tindak kekerasan yang sekaligus penganut agama kerap membakar tempat-tempat ibadah, seperti mesjid dan gereja. Ribuan nyawa telah melayang akibat konflik-konflik agama semacam ini.
Oleh karena
itu, dalam kehidupan bermasyarakat jangan sampai kita mengklaim bahwa kami pasti
benar dan kamu pasti salah. Ayat selanjutnya menjelaskan, “Katakan (wahai Nabi
Muhammad kepada orang-orang non-muslim), kalian tidak akan dimintai
pertanggungjawaban atas dosa-dosa kami dan kami pun tidak akan diminta
pertanggungjawaban atas apa yang kamu kerjakan. Katakanlah, Tuhan kita akan
menghimpun kita di hari kemudian. Kemudian Dia akan memberi putusan yang benar
(haq), siapa yang benar dan siapa yang salah.” Dengan bahasa lain, saat
turunnya surat al-Kafirun, Nabi Saw. mengatakan, kalian (kaum musyrik Quraisy)
tidak usah mengatakan bahwa agama kalian benar dan agama saya benar, karena
secara prinsip memang sangat berbeda.
Ini
menunjukkan bahwa kita tidak perlu mempersoalkan kepercayaan yang berbeda,
apakah itu Islam, Kristen, atau Yahudi. Yang penting, bagaimana masing-masing
mempercayainya sendiri. Bahkan dalam ayat lain Allah berfirman, “Jangan memaki
sembahan orang. Karena, kalau kamu memaki sembahan mereka, maka mereka juga
akan memaki sembahanmu.” Nah, inilah konsep etika beragama yang diajarkan
al-Qur’an
Karena itu,
perlu ada kemauan dan kebulatan tekad bersama untuk menyelamatkan bangsa ini
dari perpecahan dan krisis multidimensial, akibat pemahaman agama yang minim.
Bukan hanya dari kita sebagai warga muslim, tetapi juga dari mereka kalangan
non-muslim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar